Tidak terasa, aku melihat ke jendela, ternyata matahari sudah bangun dari istirahatnya semalam. Dan aku, melewatkan malam ini dengan mata terjaga. Semalam ada bintang yang memintaku mendengarkan ceritanya. Sayangnya kelemahanku adalah tidak bisa menolak. Tapi sejujurnya aku benar-benar ikhlas kali ini bias mendengar keluhan-keluhan bintang di hari ke seribu ia bertugas. Toh sudah lama aku tidak berbincang dengan benda alam.
Sayup aku dengar suara kaki menaiki tangga menuju kamarku, sampai akhirnya bunyi kaki itu berhenti di depan kamarku. Dan si pemilik kaki mengetuk pintuku.
Aku memutuskan untuk tidak membiarkan tamuku menunggu lebih lama untuk ku bukakan pintu. Dan ternyata yang datang adalah sahabatku, sahabat dekat, begitu dekat.
Tanpa satu “selamat pagi” atau sekedar “hai”, sahabatku memelukku. Erat. Terlalu erat.
Aku memilih untuk tidak bertanya apapun tentang pelukan ini. Aku membiarkan perasaannya mengalir dalam sambutan pelukku.
Tebakanku benar, tidak lama setelah dia merasa lebih tenang, dengan sendirinya dia menegakkan kepalanya. Kemudian melukis. Melukis wajahnya sendiri.
Warna pertama yang dipilihnya adalah abu-abu. Lalu merah, lau hitam. Ya benar, lukisan itu terlihat tidak menarik karena warnanya. Karena wajahnya.
Aku berusaha meraih tangannya untuk memberi semangat, mungkin itu yang dia butuhkan saat ini. Tapi tidak berhasil. Lukisan di wajahnya belum berubah.
Aku berusaha menyembunyikan kekhawatiranku. Aku berusaha mengabaikan kebingunganku. Aku berusaha. Berusaha mengerti air matanya. Berusaha mendengarkan keluhannya. Keluhan dalam lukisannya.
Aku bilang padanya aku mengerti. Aku bilang padanya aku sudah mengerti. Aku bilang padanya aku benar-benar mengerti. Dan memang hal inilah keahlianku, berbohong padanya. Sahabatku, cermin yang berdiri di depanku.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar